TangselCity

Ibadah Haji 2024

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Jumlah Dokter Spesialis Indonesia Terendah Di Dunia, Hanya Cetak 2.700 Per Tahun

Oleh: Farhan
Selasa, 07 Mei 2024 | 10:10 WIB
Dokter s3dang melakukan operasi. Foto : Ist
Dokter s3dang melakukan operasi. Foto : Ist

JAKARTA - Indonesia darurat kekurangan dokter spesialis. Bahkan, Indonesia menempati peringkat ke-147 dan 9 di Asia Tenggara sebagai negara dengan jumlah dokter spesialis terendah di dunia.
UNTUK itu, Pemerintah berusaha mempercepat lahirnya dokter-dokter spesialis. Salah satu caranya dengan mengge­lar Program Pendidikan Dok­ter Spesialis (PPDS) Berbasis Rumah Sakit.
Presiden Jokowi mengaku kaget Indonesia baru bisa meng­hasilkan 2.700 dokter spesialis per tahunnya.
Jokowi mengungkapkan, ber­dasarkan data Bappenas, rasio ideal dokter spesialis yakni, 0,28 per 1.000 penduduk. Dengan begitu, Indonesia masih kekurangan 29.179 dokter spesialis.
Selain itu, eks Wali Kota Solo ini menyoroti distribusi dokter spesialis juga tidak merata. Seki­tar 59 persen dokter spesialis terkonsentrasi di Pulau Jawa.
“Kita harus mati-matian menyiapkan ini. Ada 24 fakultas kedokteran dan 420 rumah sakit yang dapat menyelenggarakan pendidikan dokter spesialis, harus dijalankan bersama-sama agar segera menghasilkan dokter spesialis sebanyak-banyaknya dengan standar internasional,” tegas Jokowi saat meluncurkan program PPDS berbasis Rumah Sakit di halaman Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita, Jakarta Barat, Senin (6/5/2024).
Kepala Negara mengakui, dalam kunjungannya ke daerah selama 6 bulan terakhir, dia banyak menemukan alat-alat kesehatan sudah cukup merata di fasilitas kesehatan. Beberapa di antaranya bahkan cukup lengkap.
Misalnya, di rumah sakit dae­rah terpencil sudah ada fasilitas USG di Puskesmas dan alat MRI. Namun, keluhan warga, tidak ada dokter spesialis.

“Keluhan di daerah utamanya di provinsi kepulauan selalu sama, kurangnya dokter spesialis,” ungkapnya.
Jokowi pun meminta memper­banyak terobosan untuk mengu­rai masalah kekurangan dokter dan distribusi dokter.

Dia berharap, 24 fakultas dan 420 rumah sakit di Indonesia bisa menghasilkan dokter spesi­alis sebanyak-banyaknya.
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) ingin mengatasi masalah utama yang belum terselesaikan selama 79 tahun, yakni distribusi dokter yang tidak merata.
Budi menjelaskan, Kemenkes telah merumuskan kebijakan rencana 15 tahun ke depan untuk mempercepat lahirnya dokter spesialis. Salah satunya, dengan program PPDS Berbasis Rumah Sakit.
Saat ini, kata dia, dengan hanya 2.700 lulusan per tahun, butuh lebih dari 10 tahun untuk memenuhi kebutuhan dokter spesialis.

Dengan hospital base bisa mempercepat pemenuhan dokter spesialis dari 10 tahun menjadi sekitar 5 tahun.
“Kita perlu mendistribusikan sekitar 29 ribu dokter spesialis sampai ke level kabupaten/kota dan ini akan secara dinamis kita lakukan,” katanya.

Dari segi kualitas, dokter spesialis lulusan PPDS Berbasis Rumah Sakit ini setara dengan dokter spesialis lulusan program pendidikan di dunia.
Sebab, Kemenkes melibatkan seluruh kolegium di Indonesia dan kolegium dari luar negeri serta Accreditation Council for Graduate Medical Education (ACGME) sebagai organisasi akreditasi yang menetapkan standar pendidikan rumah sakit dari rumah sakit pendidikan ter­kemuka, seperti Mayo Clinic dan Johns Hopkins Hospital.
“ACGME untuk bantu me­mastikan semua standar lulusan rumah sakit pendidikan di Indo­nesia sama dengan standar dari John Hopkins dan Mayo Clinic,” jelas eks Direktur Utama Bank Mandiri itu.
Tak hanya itu, Budi memasti­kan bahwa peserta PPDS berba­sis Rumah Sakit ini bakal digaji dan bebas biaya pendidikan.

Dia menjamin calon dokter spesialis yang menempuh pendidikan melalui program hos­pital based akan mendapatkan kesejahteraan berupa mem­peroleh gaji dan menjalani pen­didikan spesialis tanpa biaya, seperti penerapan sistem di luar negeri.
Menurutnya, hal tersebut di­lakukan untuk mengatasi salah satu permasalahan utama pen­didikan dokter spesialis di Indonesia, yakni biaya pendidikan yang mahal.
“Jadi, pendidikan dokter spe­sialis di Indonesia sama dengan pendidikan dokter di dunia. Tidak usah bayar uang kuliah, tidak usah bayar uang pangkal,” ungkapnya.
Mantan Dirut Inalum (Per­sero) ini juga menjelaskan, selu­ruh calon dokter spesialis yang menempuh pendidikan melalui program hospital based ini akan memiliki status yang lebih jelas, yakni menjadi tenaga kontrak rumah sakit dan bakal mem­peroleh manfaat yang serupa dengan tenaga kerja lainnya.

Mereka akan mendapatkan perlindungan kesehatan, per­lindungan hukum, jam kerja yang wajar.
“Statusnya bukan pesuruh, pembantu, atau keset,” ucapnya.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Moh Adib Khumaidi berharap program ini mampu menjawab masalah maldistribusi dokter spesialis di Indonesia.
Adib menilai, yang paling penting juga untuk diperkuat bukan hanya produksi, tapi ada regulasi yang memperte­gas bahwa ini akan menjang­kau seluruh wilayah Indonesia, sehingga akan bisa menjawab masalah maldistribusi.
Dia berharap mutu dan kuali­tas dokter dari program hospital based sama dengan lulusan PPDS yang menempuh pendidi­kan berbasis universitas.
“Kalau memang untuk kepentingan dari penyebaran dokter dan tentunya tidak terlepas dari peran supervisi kolegium dan jangan ada dikotomi antara lulusan hospital based dan uni­versity based. Karena semua akan bekerja di masyarakat dengan kompetensi yang sama," tuturnya.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo